Minggu, 20 Maret 2011

Senja tanpa Jingga

Senja hari ini terasa lebih sempurna,saat aku mampu menemukan jingga di antara bias cahayanya, ada suara kelam burung beterbangan, seraya berseru malam akan datang, ada rindu pada cinta akan kesempurnaan di ujung sore tanpa hujan. Dapat kurasakan mentari membisu dengan perlahan - lahan menjauh dari keramain hari, mencoba berkata esok akan datang lagi.


Sekali lagi, Ayah selalu mengatakan padaku bahwa aku dan kakakku adalah dua bagian hati Ayah yang terbagi sama besarnya, terukir sama indahnya dan tercipta sama berartinya untuk Ayah, tapi ada satu kata yang mampu membuatku percaya bahwa aku lah yang lebih berharga di banding kakakku.

"Kau tahu Nak, Ayah selalu suka dengan senja, namun Ayah selalu lebih suka dengan warna jingganya, menentramkan hati dan sangat sempurna, tercipta dari rona indah cahaya senja" Ucap Ayah suatu sore di pelataran belakang rumah kami, dimana tempat kami menghabiskan waktu menanti senja. Saat mengatakan itu, Ayah sedang menggendongku, sementara aku bergelayut manja sembari menciumi pipinya yang terasa kasar oleh bulu - bulu jenggot yang sudah mulai panjang lagi.


Aku adalah Jingga dan kakakku adalah senja, setiap hari aku bertanya kenapa dia harus di sebut kakak dan aku sebagai adiknya, Kau tahu, kita di lahirkan pada hari yang sama., dari rahim satu wanita yang sama,Ibuku.Mungkin hanya berbeda berapa detik aku dan dia di lahirkan, Paras kami hampir tak ada bedanya, sewaktu kecil hampir setiap hari Ibu mendandani kami dengan baju dan gaya yang sama, Namun yang aku sadari dari dulu, Ibuku selalu lebih lama menyisir rambut Senja di bandingkan menyisir rambutku.


Bahkan sampai saat ini, aku merasakan perbedaan Ibu dalam mengasihi kami, seolah semua waktu dan perhatiannya tersita oleh Senja, tak ada sedetik pun untuk aku, adakalanya Ibu berpaling beberapa saat padaku, namun Senja selalu kembali merenggut tatapan lembut Ibu dariku, aku cemburu, kesal, semua kebahagiaanku tersita oleh Senja. Apakah benar kata Ayah, Jingga tercipta dari rona indah Senja, tak akan ada aku tanpa bayang - bayang kakakku, sementara aku sendiri tak pernah bisa benar - benar marah padanya, entahlah mungkin sebenarnya  aku pun sangat menyayangi Senja.


Suatu hari pada pembagian raport kenaikan kelas saat kami berada di kelas empat sekolah dasar, Senja pernah berucap sebuah kalimat yang membuatku teramat marah sampai sekarang, namun hanya aku simpan dalam hati. Aku masih ingat caranya bicara dan tersenyum saat itu, wajah ayunya tampak lembut namun sinis.

"Adikku, kamu memang pantas mendapat peringkat dua setelah aku, jangan cemburu ya, masa kamu rela kakakmu terkalahkan, seorang kakak harus menang, harus lebih pintar dari adiknya, agar bisa melindungi adiknya" Ucap Senja di hadapanku, aku masih tersungut kesal,namun lagi - lagi aku hanya terdiam dalam rasa marahku, aku tak ingin memukulnya, aku tak ingin menjambak rambutnya atau sekedar mencubit kulitnya, aku tak mau.


Siang itu Senja berlari ke dalam rumah , dan Ibu menyambutnya di ambang pintu ruang keluarga, Ia memeluk Senja dan menciumnya, kemudian dengan tatapan berseri - seri melihat raport kakakku.Aku berjalan lesu dan malas - malasan. aku tak ingin menunjukkan raportku pada Ibu, tentu karena aku tak pernah bisa menjadi yang pertama, aku selalu mendapat posisi kedua setelah Senja. Ibu tersenyum padaku dan melepas pelukannya pada Senja, menatapku lembut sekali kemudian memanggilku.

 ''Jingga, Ibu boleh lihat raportmu Nak" Ucap Ibu sambil menarik pelan tubuhku dalam pelukannya. Aku enggan mebuka lembaran raportku
."Hemm, Jingga juga pintar, anak Ibu memang rajin semua" hanya sebatas ucapan basa - basi, kataku dalam hati. Kemudian Ibu mencium kening Senja, baru kemudian Aku, Lihat aku selalu menjadi nomor dua, tak pernah menjadi yang pertama.


Pernah suatu sore Ibu memintaku ikut belajar menari di sebuah sanggar temannya, Senja bersemangat sekali hari itu, bahkan Ia sudah mempersiapkan semua perlatan menarinya semenjak semalam, dan aku masih dengan malas memasukkan selendang berwarna orange itu ke dalam tas kecilku yang bergambar doraemon. Ibu memanggilku untuk keluar kamar, aku berjalan tertunduk,malas sekali rasanya.

"Bu, aku tidak ingin ikut menari Bu, aku tidak suka" Ucapku dengan mimik cemberut.
"Di coba dulu Jingga, masa anak perempuan ndak bisa nari, terus apa yang bisa kamu pentaskan di pesta akhir perpisahan sekolah?" Ucap Ibuku sedikit memaksa.
Aku menghela napas dan berucap lagi.
"Bu, aku tidak mau menari,aku mau main basket Bu" mataku berkaca - kaca menahan tangis karena kesal. Ibu mentapku tajam.
"Apa?kamu mau  main basket, kayak laki - laki saja, ndak boleh, kalau ndak mau ikut Ibu ke sanggar mendingan kamu di rumah saja, ndak usah keluar rumah, kenapa sih kamu ndak pernah nurut sama Ibumu,ndak kayak kakakmu'' Nada bicara Ibu lebih tinggi dari biasanya.


Aku melempar tas doraemonku di hadapan Ibu, aku berlari ke kamar dan menumpahkan tangisku di atas ranjang, Seperti yang aku duga, Ibu tak mempedulikan aku, Ia tetap berlalu. Kemudian aku dengar suara orang membuka pintu kamarku pelan, aku menoleh dan berlari ke arah Ayah.Aku sesenggukan dalam pelukannya, air mataku membasahi kemeja hijau mudanya.Ayah mengangkat wajahku dan tersenyum,kemudian Ia mengeluarakan sesuatu dari tangan kanannya yang Ia sembunyikan di belakang tubuhnya, sebuah bola basket baru, baunya pun masih sangat khas.Aku melonjak girang dan segera meraih bola basketku.Sore itu Ayah kembali menjadi penyelamatku, menemaniku bermain basket sampai malam. Ibu masih sangat kesal saat aku pulang dengan baju kotor dan keringatan , Ayah mencoba memberi pengertian dan malam itu berakhir dengan maaf dari Ibu untukku.


Selepas dari SMA, aku bersi keras untuk tidak akan masuk ke Perguruan Tinggi yang sama dengan kakakku, alasannya lebih karena aku tak ingin  lagi menjadi yang kedua, untuk masa ini aku ingin menjadi juara, menjadi yang pertama, aku rasa itu cukup adil bagiku.Senja merasa sedih karena harus berbeda kampus denganku, namun aku senang sekali, mulanya Ibu juga tak sependapat denganku, namun akhirnya luluh juga oleh bujukan Ayah. Masa - masa kuliahku aku lalui dengan suka cita, sering kali aku dan Senja saling berbagi cerita tentang dosen - dosen yang galak, atau anak baru dan senior yang tampan, ya seperti itu lah cerita khas anak manusia usia belasan tahun.Saat di kampus aku merasa bebas dari bayang - bayang Senja, namun saat kembali ke rumah aku tak dapat memungkiri perasaan tersaingi selalu ada saat Senja bercakap mesra dengan Ibu, sementara di sudut yang lain aku hanya mampu mendengarkan dengan sembunyi - sembunyi. Walaupun begitu hubunganku dengan Senja tak pernah berubah, semakin hangat, aku sadari Ia adalah kakak yang sangat bertanggung jawab, sering kali menasehatiku dan senantiasa melindungiku, untuk alasan itu lah aku pun menyayanginya, di samping perasaan tersaingi yang selalu mengahantui.


Sore itu senja berlari kegirangan , memanggil Ibu yang sedang asik menumis sayur di dapur, dapat ku duga kiranya Senja sedang mendapatkan sesuatu yang membahagiakan.

" Bu, tahu tidak , tadi siapa yang datang ke rumah?" Ucap Senja sambil mendekap tubuh Ibu dari belakang, aku di ambang pintu dapur mendengarkan dengan seksama.
"Senja, jangan ganggu Ibu Nak, nanti masakan Ibu bisa gosong" Ibu menoleh sebentar dan melanjutkan kegiatan masaknya.
"Akh, Ibu dengarkan ceritaku dulu " Senja berucap manja, sementara mataku masih saja mengawasi mereka berdua.
"Baiklah, ceritakan siapa yang datang ke rumah?" Ibu mengecilkan api dan membersihkan tangan dengan celemek, kemudian meluangkan waktu untuk mendengarkan Senja bercerita.
"Tadi Arman datang Bu, Dia baru pulang dari Balikpapan, sudah lama sekali kan Bu Dia pergi, Dia membawakan pin ini Bu, untukku" Senja menunjukan pin berbentuk kupu - kupu, Indah sekali pikirku.
"wah, bagus sekali Nak, hemm..kamu pasti senang sekali yah? kenapa Arman tidak kamu ajak masuk Nak?" Ibuku berucap sambil dengan kagum memandangi pin kupu - kupu itu.


Ada rasa iri menggelayuti hatiku, membuatnya sekan tersekat dan sesak, bulir air mataku mengalir deras tanpa ku sadari.Arman, teman semasa kecilku, dulu hampir setiap sore ,aku ,Senja dan Arman bermain sepeda bersama, aku kira Arman tak pernah suka padaku, Ia senang sekali mengejekku dan membuatku menangis, Ia tak pernah mau memboncengku naik sepeda, namun dalam hati kecilku, aku selalu tertarik pada senyum hangatnya, mata sayunya dan rambut hitam menawannya.Dan kini terjawablah sudah , cinta masa kecilku pun harus kalah oleh kakakku, haruskah kali ini pun aku merelakan Arman, membiarkannya menjadi kakak iparku, aku rasa aku sama sekali tak sanggup.


Sore itu juga aku pergi ke Makam Ayah, satu tahun sudah Ayah pergi meninggalkanku, Aku merasa teramat sepi setiap kali harus melewati senja tanpa bercengkrama dengannya, belum lagi Ayah adalah malaikatku di rumah kecil kami, jika aku bertentangan dengan Ibu, Ayah selalu membelaku, dan membuat Ibu mau memaafkan kesalahan demi kesalahanku, namun kini tak ada lagi Ayah, tak ada lagi  sosok yang senantiasa menyeka air mataku,untuk membiarkan kesedihanku meresap perlahan di jemarinya.


Aku menangis di makam ayah, membasahi sebagian tanah kuburnya, aku tak ingin beranjak , aku ingin terus bercerita pada Ayah.

"Jingga" suara berat laki - laki muda mengagetkanku.
Aku menoleh dan terperangah, siapakah pemuda di hadapanku?
"Kamu siapa, kenapa kenal saya?" aku menyeka air mataku, sedikit malu.
"Arman" Ucapnya mengulurkan tangan.
Aku menjabat tangan itu ragu.
"Benarkah kamu Arman ?" aku masih tak percaya, sebelum Ia mengangguk mengiyakan.
Aku tiba - tiba kesal padanya, Ia datang padaku tapi tak memberiku sesuatu seperti pada Senja, Ia pasti ingin mengolok - olok aku, sama seperti saat kita kecil dulu.Aku berbalik mebelakanginya.
"Jingga, menghadaplah padaku'' ucapnya memohon
"Tidak, kamu pasti akan mengejekku kan, mengatakan aku cengeng" ucapku kesal.
"Akh, ternyata kamu masih dendam ya? menoleh lah dulu" ucapnya lagi, dengan sedikit di iringi tawa kecil.
Aku menoleh dengan terpaksa.
"Maukah kamu menikah denganku?". 


Hey aku melihat sebuah cincin berlian berkilauan indah sekali, permatanya membentuk kupu - kupu kecil di puncaknya, aku terperangah, ini seperti mimpi, Arman melamarku di makam Ayah, memang tidak romantis , tapi ini hari terindah yang pernah aku lalui, sore terindah dimana aku menyaksikan Senja dengan kekasih hatiku, Yang kini berada tepat di sampingku, tertunduk lesu di makam yang sama, namun gundukan tanah yang berbeda, nisan yang berbeda, bukan makam dan nisan Ayah. Namun nisan Senja.


Baru kali ini aku merasakan cinta Senja padaku, justru setelah bertahun - tahun aku menikah dengan Arman dan mempunyai dua putri kecil yang juga kembar, seperti aku dan Senja, setiap melihat mereka berdua, aku selalu teringat masa - masa kenakalanku dan Senja, masa di mana aku pernah menyimpan iri, masa di mana aku selalu merasa kalah, Namun tidak begitu adanya saat kemarin aku mendapat kabar kematian kakakku tercinta, Senja.
Kemarin sore setibanya di rumah Ibu, aku segera membuka kain kafan penutup wajah ayu kakakku, aku tak kuasa berlama - lama memandang wajah diamnya. aku tak kuasa membendung tangis Ibu,suaranya menderu memilukan hati. Kakakku yang masih gadis, pergi meninggalkan kami.


Aku berlari menuju kamar semasa kecil kami, mengenang apa saja yang bisa aku ingat, mencari - cari apa pun yang bisa mebuatku terkenang akan keceriaan kami, Senja masih senantiasa menampati kamar ini sampai hari terakhir Pengerasan hati merenggut nayawanya, mataku tertuju pada buku diari berwarna jingga, membuka dan membukanya perlahan. Aku tak pernah tahu jika dulu, senyum keikhlasan Senja saat memakaikan kebaya pernikahanku adalah senyum palsu, senyum yang menyembunyikan sakit hatinya karena  merelakan Arman. Pria yang teramat di cintainya menikah denganku, ada rasa pilu menyayat hatiku, mengapa aku tak pernah tahu, mengapa Senja tak pernah bercerita padaku.Aku tak kuasa mebayangkan Senja dan segala keringkihan hatinya saat harus menerima kenyataan Pria yang teramat di cintainya telah memilihku, tidak memilihnya.Aku terdiam dengan tangisku, tahukah Senja, bahwa saat itu aku ingin memeluknya, mengajaknya bangun dari tidur panjang yang damai.


Aku masih senantiasa menebar bunga setaman di atas tanah merah basah sampai senja menyapa, menandakan ujung hari sudah mulai bersuara,lamat - lamat terdengar suara pilu burung dari kejauhan , seperti ungakapan hati dalam pesakitan.Aku menatap mentari mulai bersembunyi, Senja kali ini tanpa jingga, yang ku jumpai hanya pekat , gelap tak berwarna.